
Karapan Sapi adalah lomba balap sapi. Tradisi ini merupakan ciri masyarakat Madhurian.
Budaya khas Madorian ini berlangsung setiap tahun pada bulan Agustus atau September. Mereka kemudian akan diperebutkan lagi untuk final pada akhir September atau Oktober.
Biasanya final digelar di kota bekas kediamannya, Bamkasan, untuk memperebutkan penghargaan bergilir Presiden yang kini disulap menjadi Piala Gubernur.
Karapan Sapi merupakan salah satu jenis kesenian, olahraga atau permainan tradisional yang rutin dilakukan oleh masyarakat Pulau Madura. Ada dua versi mengenai asal kata Kerapan atau Karapan, dilansir situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pertama, istilah Kerapan berasal dari kata Kerap atau Kirap yang berarti meninggalkan dan membebaskan secara bersama-sama atau dalam jumlah besar. Versi kedua, Kerapan, berasal dari kata Arab Kirabah, yang berarti persahabatan.
Dalam perlombaan tersebut, sepasang sapi menarik sejenis gerobak dari kayu tempat penunggangnya berdiri dan mengontrol sepasang sapi tersebut. Pasangan sapi didorong untuk cepat bersaing dengan pasangan lainnya.
Lintasan pacuan kuda biasanya panjangnya sekitar 100 meter dan balapan berlangsung sekitar sepuluh detik hingga satu menit.
Carrapan Sabi, bukan sekedar perlombaan, merupakan pesta rakyat dan ajang bergengsi bagi masyarakat Madura. Bahkan status sosial pemilik sapi karapan pun terangkat jika sapi tersebut menjadi pahlawan wanita.
Pasalnya, hewan ini kerap dijadikan sebagai investasi dengan cara melatih dan mengasuhnya sebelum bertanding. Dengan begitu sapi carrapan akan sehat, kuat dan mampu memenangkan perlombaan.
Biaya seekor sapi Karapan cukup besar, yakni Rp 4 juta per pasang untuk pakan dan pemeliharaan lainnya. Sapi karapan sering diberikan jamu yang berbeda dan puluhan telur ayam setiap hari, terutama sebelum bertanding di arena pacuan kuda.
Lomba Karapan Sapi terdiri dari beberapa jenis, mulai dari Karapan kecil di tingkat sub-wilayah, hingga Karapan di tingkat residen, di mana juara dari masing-masing daerah berpartisipasi dan menjadi puncak acara.
Lomba Karapan Sapi juga melibatkan banyak pihak di masyarakat.
Diantaranya pemilik sapi balap, pembuat tongkou yang bertugas mengendalikan sapi balap di kaleles, tukang yang memegang kendali sapi sebelum dilepaskan, kepala suku yang menggertak sapi agar bisa pergi saat diberikan. isyarat cepat, pembuat tonga yang menarik dan membimbing sapi, serta Pengrajin yang bersorak untuk mendorong sapi balap.
Sebelum Karapan sapi dimulai, sepasang sapi diarak mengelilingi arena pacuan kuda dengan diiringi gamelan Madura.
Selain untuk melemaskan otot-otot sapi, prosesi ini merupakan ajang untuk memamerkan keindahan dan dekorasi pakaian dan dekorasi sapi-sapi yang bertanding. Setelah pertunjukan berakhir, pakaian dan semua dekorasi dibuka.
Setelah itu, kompetisi pertama mulai menentukan urutan peserta. Pada babak ini, peserta akan menyusun strategi agar sapi rasnya masuk ke kelompok “lebih tinggi” sehingga pada babak selanjutnya (preliminary) mereka dapat bersaing dengan sapi ras kelompok “bawah”.
Lalu ada babak penyisihan satu, dua, tiga dan empat, atau babak final. Pada babak penyisihan ini, permainan menggunakan sistem gugur. Jadi, sapi ras yang kalah tidak dapat mengikuti pertandingan babak selanjutnya.
Sementara itu, sapi yang menang akan berhadapan dengan pemenang pertandingan lainnya. Begitu seterusnya hingga sisa adu banteng menjadi pemenangnya.
Jika diperhatikan, Karapan sapi tidak hanya sekedar perlombaan, tetapi juga mengandung nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti kerja keras, kerjasama, sportivitas, kompetisi dan ketertiban.
Sejarah Kerapan Sapi – Madura
Diiringi Saronin, orkes khas Gamelan Maduris, sapi-sapi dipajang di dalam dan sekitar arena pacuan kuda.
Rilekskan otot sambil memamerkan keindahan pakaian dan aksesoris warna-warni. Setelah pertunjukan, pakaian dan semua aksesori dilepas. Kecuali hiasan kepala (obet), yang memberi sapi kepercayaan diri dan kekuatan. Kemudian balapan dimulai.
Debu naik. Sepasang sapi berbaju kaleles, kendaraan pelengkap untuk dikendarai oleh tongkok (ksatria/sais), melaju kencang. Balapan cepat melawan pasangan sapi lainnya.
Kaleles terbang di udara beberapa kali sementara ksatria itu mencoba mengendalikan dan menunjukkan kelicikan. Sorak-sorai penonton menambah kemeriahan pertandingan.
Inilah karapan sapi atau kadang tertulis Kerapan sapi, monumen budaya dan permainan tradisional masyarakat Madura, Jawa Timur. Tidak jelas kapan tepatnya sapi Karaban lahir.
Sapi memiliki arti penting bagi orang Madoran. Menurut Sulaiman dalam Karapan Sabi di Madura, masyarakat Madura percaya bahwa sapi memiliki raja.
Raja sapi betina terletak di Desa Gading, Kecamatan Manding, Kabupaten Sumenep. Sedangkan Raja Banteng terletak di Sapudi, sebuah pulau di sebelah timur Madura.
Selama ratusan tahun, sapi gading betina dirawat dengan baik dan dikenal kualitasnya. Dari wilayah ini, muncullah asal muasal kontes sapi betina yang dikenal dengan sape display atau sape sono. Sedangkan Sapudi diketahui menghasilkan pejantan unggul yang sering dijadikan sapi atau pejantan.
Metode Penembahan Wlingi (Wirobroto) beternak sapi dimulai di Sapudi sekitar abad ke-14 dan dilanjutkan oleh putranya Adipoday.
Saat itu pertanian sedang berkembang pesat. Mengendarai sepasang sapi di atas terak (garu), para petani dengan senang hati membajak sawah dan berlomba sampai akhir. Dari sinilah istilah graban berasal, dari kata ‘grab’ yang berarti ‘tindakan cepat’.
Demikianlah pembahasan tentang kerapan sapi Madura, sebuah pemahaman tentang kebudayaan khas Jawa timur. Semoga menjadi wasilah bagi kita untuk lebih mencintai budaya bangsa. Semoga bermanfaat dan terimakasih.